Jumat, 27 November 2009

Kepakan Sayap-Sayap Florian (Part II)

Ditatapnya kegelapan malam kota Semarang. Sesaat lagi Matarmaja yang ditumpanginya akan berhenti di stasiun Poncol. Stasiun yang mempunyai kenangan tersendiri di hatinya.

      “ Poncol! Poncol! Ayo yang mau ke toilet bisa turun dulu!” Teriak seorang petugas lantang membuat Florian tersadar dari lamunannya.

       “ Tidak turun dulu mba? Kita lumayan berhenti lama di sini?

      “ Tidak pak, terima kasih.”

Sebenarnya Florian ingin sekali turun sebentar menghilangkan jenuhnya, tetapi semenjak kejadian delapan tahun lalu, dia tidak pernah mau turun dari kereta sebelum kereta ini tiba di tempat tujuan. Ingatannya mengajaknya kembali ke peristiwa waktu itu.

Delapan tahun lalu, pada saat pendakian Semeru pertamanya, setelah makan sate yang dijajakan di kereta, perutnya tiba-tiba sakit tak tertahankan. Dia pun turun ikut serta masuk antrian. Baru saja dia masuk toilet, kereta pun berlalu meninggalkannya. Seluruh orang yang berada di stasiun saat itu mengetahuinya hingga ia menjadi pusat perhatian semalam. Rasa malu dan kesal karena tidak ada lagi kereta yang menuju Malang bercampur aduk menjadi satu. Semenjak itu Florian tidak berani turun kereta biarpun sebentar. Pada saat itulah ia merasakan hatinya semakin mendekat pada satu pria yang terus menemaninya sepanjang malam, sepanjang perjalanan menuju Surabaya untuk menyusul teman-temannya. Hatinya tiba-tiba berasa perih. Florian pun segera memperbesar volume MP3nya, mencoba berkonsentrasi pada buku di tangannya, Rindu Tanpa Akhir karya Imam Al-Ghazali.

Kereta terus bergerak semakin jauh meninggalkan semarang. 

      “ Malang… Malang… Kota Baru… Stasiun terakhir. Ayo siap-siap! Hati-hati ketinggalan barangnya!” teriak seorang petugas kereta

Dilihat arloji di tangannya, waktu menunjukkan pukul 09.00. Segera dimasukkan buku yang dibacanya ke dalam carriernya yang berat. Tubuhnya sangat lelah karena matanya tidak mau terpejam walau sekejap pun.

        “ Mau ke gunung apa mba?” Tanya pria yang duduk di sampingnya.

        “ Semeru mas.” Jawab Florian tanpa menoleh.

        “ Bukunya seru ya? Sampai-sampai tidak beralih sedikitpun.”

        “ Eh.. iya.” Jawab Florian yang akhirnya menatap pria itu.

Pria itu ternyata tidak sendiri. Dia dan teman-temannya membawa carrier juga. Sepanjang perjalanan Florian memang tidak melihat kemanapun selain ke luar jendela, fokus dengan bukunya atau mencoba untuk tidur, sehingga dia tidak menyadari jika dia duduk dengan para pendaki juga. 

        “ Mas sendiri mau ke gunung mana?” 

        “ Sama. Semeru juga. Sendiri aja mba? Dari kemarin saya tidak melihat ada temannya?”

        “ Nanti di sana juga banyak pendaki lain kan?” jawab Florian sembari tersenyum, “ di sini aja saya ketemu pendaki yang ke Semeru juga.”

        “ Hahahaha.. iya juga sih, cuma tetep aja nekad. Berani bener sih mba! Ini yang pertama atau udah pernah sebelumnya?”

        “ Pokoknya bukan yang pertama lah... Mas sendiri berapa orang yang berangkat?”

        “ Tiga orang mba. Oh ya, perkenalkan saya Sendi, ini Elang dan itu yang diujung Banyu.”

        “ Saya Flo!”

Kereta pun tiba di Malang, di stasiun terakhir. Sendi dan teman-temannya menawarkan Florian untuk bergabung dengan mereka, namun Florian menolak dengan alasan ada urusan yang harus diselesaikannya terlebih dahulu.

***

Tepat pukul sebelas malam. Florian tiba di Ranu Kumbolo. Dengan sigap dia segera mendirikan tenda dan membuat perapian untuk menghangatkan dirinya yang mulai membeku kedinginan. Tiba-tiba Florian merasakan ada yang menatapnya, jantungnya berdebar-debar kencang tanpa sebab. Mata bulatnya menjelajah ke sekeliling danau tersebut, namun dia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Para pendaki lain pun sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, tidak ada satupun yang memperhatikan keberadaannya.

        “ Ah… perasaan gue aja kali.” Florian mencoba menenangkan dirinya.

Karena lelah, Florian tidur sangat lelap. Itulah yang membuat dia kecanduan naik gunung. Gunung mengusir mimpi-mimpi buruknya, membuat insomnianya tidak berani datang berkunjung.  

Samsungnya bernyanyi kencang, mengajaknya bangun untuk segera menunaikan sholat Shubuh. 

        “ Waah udah pagi. SEMANGAT Flo!” Teriak Florian riang yang segera berlari menuju Ranu untuk berwudhu.

       “ Gila.. emang ngga dingin mba!” teriak seorang pria muda dengan terkejutnya.

       “ Engga dong!” jawab Florian santai yang segera menggelar sajadahnya.

       “ Waduh… Kulitnya tebel ya mba.” Canda pria itu sembari menyiapkan alat pancingnya.

Florian begitu menyukai Ranu Kumbolo di kala pagi. Kabut tebal yang bergerak di atasnya, awan yang berarak menari, udaranya yang begitu sejuk membuatnya melupakan semua permasalahan dalam hidup. Andai tidak ada pria di sana, dia pasti nekad menceburkan dirinya ke sana, berenang bersama para penghuninya, walau dinginnya sangat menusuk tulang.

       “ Subhanallah… Indah bener! Coba ada pandawa lima di sini, pasti akan berasa jauh menyenangkan.”  

Florian begitu merindukan teman-teman yang selalu mendaki bersamanya. Mereka menjuluki kelompok mereka dengan julukan pandawa lima, tokoh dalam pewayangan Mahabarata. Mereka adalah Jamal, Gondrong, Tora, Mimi dan Florian. Kini mereka semua sudah sibuk dengan kehidupan pribadi masing-masing. Jamal dan Mimi menikah tiga tahun lalu, dan kini Mimi sedang hamil delapan bulan yang membuat mereka tidak bisa mendaki untuk sementara waktu. Gondrong tengah sibuk merintis usaha barunya dalam bidang periklanan, sedangkan Tora melanjutkan studi di Jerman. Florian pun tengah mengembangkan butiknya di beberapa kota, namun dia selalu menyempatkan dirinya untuk mendaki terutama mendaki Mahameru. Diantara mereka berlima, hanya tinggal Florian saja yang masih melajang.

        “ Ngga ada signal euy.” Florian mencoba untuk menelpon. “ Pulang mampir ah ke Mimi.”

Setelah dirinya kenyang dan sudah merasa siap, Florian melanjutkan perjalanan kembali. Banyak rombongan yang menuju ke sana, Florian tidak merasakan kesepian. Selama di perjalanan, Florian selalu merasa ada yang menatapnya, tetapi dia tidak melihat ada yang aneh, bahkan tidak ada pendaki yang dikenalnya. Sendi dan kedua temannya pun tidak dilihatnya dari awal pendakiannya.

Pukul lima sore Florian tiba di Arcopodo. Dia segera mendirikan tenda dan menyiapkan perbekalannya. Dia harus beristirahat lebih cepat, karena dia akan mulai mendaki pukul satu dinihari, agar dia bisa menyaksikan keindahan sun rise tepat di puncak Mahameru. 

Pukul dua belas malam, tepat ketika alarm jam tangannya berbunyi, Florian bangun dan segera menyiapkan perbekalan yang akan di bawanya ke puncak. Sembari menunggu air mendidih, Florian sholat dan berdoa dengan khusuk. Mendoakan satu nama yang selalu disebutnya sepanjang malam selama bertahun-tahun. Nama satu pria yang membuatnya mendaki Mahameru setiap tahun selama tujuh tahun terakhir. Satu pria yang membuatnya menutup pintu hatinya untuk siapapun.

Setelah kenyang dengan satu tangkup roti bakar dan segelas coklat panas, Florian mulai mendaki Mahameru ditemani ratusan bintang yang menatapnya dari langit. Dia merasakan jantungnya berdebar kencang tanpa tahu alasannya.

        “ Bismillahirrahmanirrahim.”

Tepat pukul lima pagi, Florian tiba di puncak Mahameru, gunung tertinggi di Pulau Jawa yang terkenal dengan pemandangannya yang sangat indah. Dia segera sholat Shubuh sebelum matahari bertengger dengan gagahnya. Dengan perlahan, Sang Surya menerobos kegelapan Mahameru, menggantikannya dengan semburat jingganya. Sun rise di Mahameru membuat Florian terpana.

        “ Subhanallah. NikmatMu manakah yang bisa kami dustakan ya Allah.”

Delapan kali sudah Florian berdiri di puncak ini, tetapi dia tidak pernah jemu dengan pemandangan di hadapannya. Gunung-gunung yang ada di dataran Jawa terlihat dengan jelasnya. Arjuno, Welireng, Lawu memandangnya dengan arogan, menantangnya untuk kembali mendaki mereka. Di sudut lain, awan putih berarak mengundangnya untuk terbang dan menari di atasnya.

        “ Aaaaaah!” Florian teriak sekencang-kencangnya.

        “ Assalamualaikum Bunga!” suara yang tidak asing menyapanya.

Florian terdiam mematung. Dengan susah payah dirinya menyangga tubuhnya yang terasa lemas tak bertulang. Kesadarannya nyaris lumpuh. Pria kurus tinggi itu menatapnya tidak berkedip.

        " Assalamualaikum Florian!” Sapanya pria itu lagi

        “ Walaikumsalam Mas.” Jawan Florian berusaha setenang mungkin

Pria di hadapannya itulah yang selalu hadir menyapanya di dalam tidurnya. Selalu membawakan bunga mawar putih kesukaannya, bunga yang tidak pernah sampai ke tangannya. Selain rambut keritingnya yang sudah dipotong pendek, janggutnya masih tetap dipelihara seperti dulu, dan matanya yang selalu dapat menghujam jantungnya masih tetap sama. Hatinya bergemuruh.

        “ Apa kabar Flo? Sudah tujuh tahun ya kita tidak bertemu.”

       “ Baik. Kamu sendiri bagaimana? Selamat ulang tahun ya… selamat menempuh hidup baru. Jangan bertingkah yang aneh-aneh lagi. Wanita itu menjadi tanggung jawabmu sekarang.” Florian menatap batu kenangan wafatnya Soe Hoek Gie di hadapannya.

       “ Terima kasih. Kamu masih ingat hari lahir ku Flo. Tapi bagaimana kamu tahu aku sudah menikah? Aku tidak mengundang siapapun. Kamu kan tahu aku tidak suka pesta.”

       “ Kamu sendiri yang bilang mas. Kamu yang bilang jika kamu tidak akan ke Semeru jika kamu belum menikah. Dan kamu ingin ke sini pada ulang tahunmu.”

        “ Kamu ingat semua Flo?”

Florian dalam hati, Aku ingat semua kata-kata kamu padaku mas.

        “ Aku juga sudah bilang kan, jika aku punya ingatan yang tajam akan suatu peristiwa, walau aku sering kesulitan menemukan kunci motor, dompet atau benda-benda lainnya.” Florian terduduk memandang batu memorium itu lebih dekat. Kakinya benar-benar tak kuat menahan tubuhnya. “ di mana istrimu sekarang? Apa kamu tidak mendapatkan pendaki yang cantik, sehingga menikahi gadis biasa?”

        “ Ada di bawah, di Arcopodo. Tadi sempat naik, tapi tidak kuat. Dia tidak sekuat pendaki wanita yang ku kenal dahulu. Pendaki keras kepala yang sudah jatuh bangun tetapi tidak mau menyerah.”

        “ Pendaki itu sudah mati tujuh tahun lalu. Dia dikubur di bawah Eidelweis Surya Kencana. Sudahlah… setiap orang itu berbeda.” Terkejut sendiri dengan nada suaranya yang keras.

        “ Ya… mereka berdua sangat berbeda.” 

Berhentilah membandingkan! Ujar Florian dalam hati. 

        “ Maafin aku Flo, sungguh maafin mas ya! Maafin karena aku tidak bisa menepati janjiku padamu, karena aku dahulu terlalu berengsek.” 

Mereka berdua terdiam dalam keheningan Mahameru.

       “ Kamu sudah melihatku dari Ranu Kumbolo kan?” Tanya Florian tajam.

        “ Iya… ternyata kamu masih begitu peka akan kehadiranku Flo. Aku belum punya keberanian untuk bertemu denganmu.”

Florian menatap Satrio tajam. Dia berusaha merekam wajah itu untuk terakhir kalinya. Dikuatkan jiwanya yang semakin keras bergemuruh. Hari inilah yang dinantikannya tujuh tahun ini.

        “ Aku turun duluan ya Flo. Istriku sudah menunggu. Hati-hati ya! Lain kali jangan berpetualang sendiri. Aku benar-benar meminta maaf dari hatiku yang terdalam. Aku pergi ya. Assalamualaikum.”

Florian menangis terisak-isak. Segala emosi, penyesalan, penantian, harapan, rasa pedih yang selama ini menyesakkan dadanya dikeluarkan bersama tetesan airmata.

     “ Astaghfirullahaladzim, Astaghfirullahaladzim, Alhamdulillah ya Allah.” Rintihnya dalam tangisan

Hari inilah yang ditunggu-tunggu Florian selama tujuh tahun. Hari dimana doa-doanya terkabul. Hari yang membuktikan kepada dirinya, Allah itu maha mengetahui dan mendengar doa-doa dari hambaNya.

Demi hari ini, Florian selalu mendaki Mahameru setiap tahun di tanggal dan bulan yang sama selama tujuh tahun terakhir. Dia benar-benar menanti di atas puncak keangkuhan Mahameru.
Pria yang sangat disayanginya itu, dahulu sangat menyakiti dan melukai hatinya. Begitu sakitnya hingga membuat Florian tak sanggup bertahan dan akhirnya mengundurkan diri dari kehidupan lelaki itu. Pergi meninggalkannya. Pria itu telah berselingkuh dengan banyak wanita dibelakangnya. 

Kepergian Florian dari lelaki itu justru membuatnya semakin terluka. Ketika emosi mereda dan kesadarannya timbul, penyesalan mendesak hatinya. Penyesalan yang mengikutinya selama tujuh tahun hidupnya.

Bukan karena terlalu mencintainya dia menyesal, melainkan karena janji hatinya ia merasa bersalah. Ia menerima cinta Satrio dengan janji di hatinya, dia akan berusaha menjadi sang dewi yang selalu siap dengan kedua sayapnya untuk terus bersamanya mencari cahaya. Tapi dia kini kalah dan menyerah. Sayapnya benar-benar patah dan kini menjadi rapuh. Dia membiarkan pria itu semakin jatuh dalam kegelapan. Kesadaran inilah yang menggoncang jiwanya.
Florian mencoba merengkuh kembali sang kekasih, namun semua sudah terlambat. Dia kehilangan penuh kekasih hatinya.

Florian berjanji, dia tetap akan menepati janjinya. Dia memang tidak lagi disisinya, tapi doa-doanya sepanjang malam selalu menyenandungkan nama Satrio.

Florian kini menyaksikan Satrio telah jauh berubah. Pria itu terlihat jauh lebih dewasa dan tenang. Pria itu pun telah menemukan bidadarinya yang akan selalu ada untuknya. Florian merasa lega dan bahagia, walau rasa perih itu masih tersisa.

Karena lelah menangis, Florian tertidur lelap. Satrio muncul dalam mimpinya. Wajahnya terlihat sangat tampan.

       “ Bunga aku pergi ya, terima kasih karena ada untukku.” Pria itu pergi melambaikan tangannya.

       “ Mba… Mba… Bangun mba! Bahaya tidur di sini, belerang sudah merambat naik kemari.” Suara bariton membangunkannya dengan panik, membuat kepalanya seakan berputar-putar.

Wajahnya masih sembab dan basah. Kepalanya berat dan tubuhnya sangat lelah.

       “ Mba kenapa? Baik-baik saja kan? Ini dilap dulu wajahnya, debunya pada nempel semua tuh!” Pria itu menyerahkan sapu tangan

Florian mengumpulkan kembali kekuatan dan kesadarannya. Matahari merayap naik. Sinarnya menghangatkan tubuh dan mengembalikan kesadaran Florian.

        " Ayo mba, cepat! Belerangnya sudah mulai tercium.”

Jam tangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Rasa bahagia mulai menjalari tubuh Florian. Dilihatnya pemandangan sekeliling. Kini hatinya benar-benar lapang.

        “ Aaaaaaaa. Semangat!” jeritnya

Florian langsung berlari turun meninggalkan pria bersuara bariton yang telah menunggunya. Florian benar-benar lupa akan keberadaan pria yang mencemaskan dirinya tersebut. Kakinya berlari–lari lincah menari bersama debu-debu Mahameru.

Setibanya di Arcopodo, Florian langsung merapikan perbekalannya. Sebelum merapikan tenda, disempatkannya Dhuha terlebih dahulu. 

       “ Alhamdulillah ya Allah, terima kasih atas segala nikmat yang Kau berikan padaku.”
Hilir mudik Florian mengitari Arcopodo. Dia merasa meninggalkan sesuatu, tapi dia tidak tahu apa itu.

        “ Apaan ya? Kok rasanya berat banget ninggalin tempat ini. Bodo ah!”

Setengah berlari Florian meninggalkan Arcopodo dan Mahameru di belakangnya, meninggalkan semua beban dan rasa sakit yang selama ini menggelayuti hatinya. Kini dia merasakan ketenangan dalam dirinya, merasakan bahagia melihat kekasihnya itu bahagia. Gadis itu telah mengikhlaskan cintanya pergi.

Setiba di kali mati, di tatapnya Mahameru yang menjulang tinggi. 

        “ Wahai gunung yang angkuh, aku pergi dan mungkin ku tak kembali lagi, jangan rindukan aku!” Senyumnya lebar mengembang.

Di tengah perjalanan dilihatnya Satrio dan istrinya sedang melepas lelah. Mereka asyik besenda gurau. Tanpa sadar dipegang dadanya.

        “ Alhamdulillah sudah engga sakit lagi.” 

 Florian terus melangkah ringan dengan semangat baru. Ranu Kumbolo terlihat lebih mempesona hari ini.

        “ Ya Allah aku lupa! siapa ya lelaki di puncak tadi?” digenggamnya sapu tangan pemberian pria itu. “Sepertinya wajahnya tidak terlalu asing. Belum ngucapin teima kasih lagi! Ya Allah pertemukan aku lagi dengan dia, supaya aku bisa berterima kasih padanya! Amin.”

***

  ....bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar