Senin, 22 Oktober 2012

Bukan Pejalan Solo -- Toraja & Bira

Ada link tiket promo di sebuah forum Traveler, Klik, pilih hari dan bayar.. kemudian woooow... ngapain ya saya ke makassar,, ambil hari sebentar pula.. hanya lihat harganya cocok dengan kas rekening, main deal dan bingung..  << -- kebiasaan buruk 1,, bertingkah tanpa pertimbangan

sehari sebelum berangkat, baru lapor sama bos pasang muka memelas dan berharap berangkat,, syukur - syukur tiketnya boleh diperpanjang 2 hari lagi,, boleh berangkaaat tapi hanya sesuai tiket pesanan tidak boleh tambah hari. << -- kebiasaan buruk 2,, bertingkah seenaknya


Ok,, Makassar 4- 7 Oktober. Begini ceritanya.. 

4 Oktober 2012

Penerbangan pukul 6 pagi,, heboh sendiri karena tidak tahu diterminal berapa n hari sudah mulai terang.. so dumm

check in, boarding dan langsung tertidur pulas karena tak tidur hari sebelumnya.. dua jam penerbangan tibalah di bandara Hasanudin untuk pertama kalinya,, takjub 

Puas berkeliling, lanjut ke Unhas FT, menemui teman - teman MAPALA 09. Sambutannya menyenangkan, membuat serasa di lingkungan sendiri

Asyik mengobrol seru dengan kawan - kawan yang dikenalkan Edont, kawan yang ku kenal di ambon dulu, dengan sajian Jalangkote (di Jakarta dinamakan Pastel) dan secangkir besar teh manis 

tepat siang hari  kawan dari UNM, Subhan, dipanggil Obe, yang baru kujumpai hari itu datang menjemput dan mengajakku berkeliling Kota Makassar ditengah kesibukannya sebagai panitia lomba bahasa Jerman,, wooow er ist sehr nett, lustig, ich mag ihn :)                                                                                                                                             dia mentraktirku makan siang Coto Makassar di Daeng Coto Bagadang, rasanya gurih dan menurutku lebih sehat dari Soto di Jawa karena kuahnya bukan dari santen tapi dari kacang. 


menanti sunset di Losari

Hari Sore, kami berkeliling di Benteng Rotterdam, Benteng besar yang terawat baik yang berada tak jauh dari pantai losari. Sedikit sejarah yang ku copas dari Wikipedia :

...."Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.",,,,,





 di dalam museum

Luas Fort Rotterdam sendiri jauh lebih luas dari museum Fatahilah, Jakarta. bentuk utama masih dipertahankan namun sudah dipugar, dan dirawat sebaik mungkin, hingga bikin betah .

dan taraa.. Akhirnya tidak hanya lewat tv atau lagu, senja itu aku diantara kerumunan menanti sang surya bernajak pergi :) amazing


pisang epe, yang banyak dijumpai sepanjang pantai Losari

Losari menjadi penutup senjaku yang indah hari itu. segera beres - beres dan bersiap - siap menuju Toraja.. yihaaa catatan baruuu

21:30,, Bus Litha hampir saja jalan,, ketika aku tiba di poolnya malam itu. Rp.130rb yang aku keluarkan untuk bus yang sangat nyaman itu, kursi empuk sandaran kaki, luas dan selimut hangat.. mantaapz.
hariku yang lelah dan kurang tidur kutumpahi disana, yang sayangnya terganggu ketika semua penumpang harus turun di sebuah terminal kecil hanya untuk membayar retribusi.. Rp.500,, hmmm..

dan entah kenapa, berkali - kali petugasnya bertanya - tanya aku mau turun dimana, sepertinya ada yang salah.. setengah sadar disuatu tempat yang bahasanya tidak kumengerti itu seperti tercekik air laut ketika panik saat snorkeling

Namun ditengah keanehan itu baru aku sadari ada gadis manis yang juga jalan sendiri ke Toraja, Nia namanya, pejalan dari Bali. dan kami sepakat untuk join trip sejak Toraja.


05 Oktober 2012

Waktu Subuh, bus Tiba di Poolnya yang terletak di Rante Pao. sarapan pagi, beli tiket pulang untuk malam nanti, dan ke tempat penyewaan motor... ok guyz.. perjalanan bisa dimulaai

Oh ya tarif motornya itu tergantung berapa lama, dan jenis motornya. Motor mio yang kusewa untuk delapan jam (diberi bonus 1 jam, jadi 9 jam) itu bertarif 75rb, motor matic harganya lebih mahal dari motor biasa looh :)

Transportasi beserta peta sudah ditangan, aku dan Nia mulai menyusun langkah rute yang akan kami ambil berdasarkan hasil browsingannya. Maksud hati isi bensin motor, ternyata jauh ke arah selatan, dan rute pun dimulai dari Selatan.

Berikut Tempat yang dapat kami datangi berdua :


Lemo

Tempat pertama yang kami datangi yaitu Lemo. Lemo merupakan kuburan di bukit batu, yang terletak di sebelah utara Makale. Di bukit ini terdapat sekitar 75 lubang kubur yang tiap lubangnya merupakan kuburan satu keluarga. Untuk membuat lubang itu diperlukan waktu  6 bulann hingga 1 tahun dengan biaya hingga puluhan juta. Bukit ini sering disebut rumah para arwah. Menrut keterangan yang kami dapat, apda waktu - waktu tertentu pakaian dari mayat - mayat tersebut akan diganti dengan upacara Ma Nene.





Londa




Setelah Limo, perjalanan kami lanjutkan menuju utara kembali. Londa terletak di Desa Sendan Uai, Kecamatan Sanggala, sekitar 5km ke arah selatan dari Rante Pao. Jaraknya tidak terlalu jauh dari Limo. Londa merupakan bukit dengan goa di dalamnya, tempat mereka memakamkan anggota keluarga mereka. Ada beberapa peti mati yang belum telralu lama. Awalnya kami ke dalam dengan membawa senter masing - masing, namun belum dalam kami masuk, kami putuskan untuk meminjam lampu Petromak (beserta guide tentunya) yang banyak di jajakan disana, hingga keterangan bisa lebih lengkap kita dapat, sewa patromak 20rb, dan biaya pemandunya seikhlasnya.


 romeo dan juliet versi Toraja

naaah ini Nia,, sang pejalan solo..

(sumber foto :Nia)

tengkorak - tengkorak bergelatakan disana, ada tengkorak bayi diatap - atap goa, bahkan ada jenazah yang belum terlalu lama. Entah mengapa jenazah - jenazah itu tidak berbau.

Berfoto diantara tulang belulang berasa di sebuah studio saja @.@..


Ke'te Ketsu

Ke'te Kesu terletak 4 km dari tenggara Rantepao, yang berarti pusat kegiatan. Dimana terdapat perkampungan, tempat kerajinan ukiran, dan kuburan. Di tempat ini pula terdapat deratan rumah adat tang disebut Tongkonan. Sekitar 100m di belakang perkampungan ini terdapat situs pekuburan tebing dengan kuburan bergantung dan tau - tau dalam bangunan batu yang diberi pagar. Tau - tau ini memperlihatkan penampilan pemiliknya sehari - hari.

naah begini nih yang bisa dilihat di Ke'te Ketsu

diantara tongkonan



makam ini berisi 11 angota keluarga



kubur gantung

tau - tau


boneka - boneka ini di kerangkeng karena sering ada pencurian, dan konon harganya mahal dipasaran


Pasar Kerbau (Lupa namanya -_- )

Tepat tengah hari kami meluncur kembali ke arah Rante Pao untuk ke pasar kerbaunya yang terkenal, lupa namanya, dimana terdapat ratusan kerbau dijajakan, dan tentu saja yang jadi primadona si kerbau Bule,, yang namanya sulit diucapkan.


kerbau ini harganya 500juta looh :)


Setelah IShoma, kami melanjutkan perjalan, menuju Karasik, tempat batu - batu megalitikum yang masih berdiri.



lalu segera kami kembali ke arah Batu Tumonga,,  sejam, dua jam berlalu, jalanan rusak parah dan berliku, semakin dingin pinggang pun semakin beku.. semakin berpacu semakin jengkel karena rasanya tak jua - jua sampai.. huft. 

dan akhirnya terhenti di sini





sebuah tempat yang menyerupai lembang, Bandung... menurut pemilik warung kira - kira 4 km lagi menjelang Batu Tumonga dan Lokkomata,, sebenernya hatiku tak surut semangat,, tapi rupanya partnerku memilih pulang.. yaa apa boleh buat.. -_-


hasil jepretan menjelang kembali ke Rante Pao


warung tergantung

kubur - kubur di batu,, weeew berapa lama ya melubanginya

menutup sore, sebelum waktu sewa motor habis,, perjalan di lanjutkan ke Tilanga, sebuah tempat pemandian, yang dilihat hasil browsingnya terlihat bagus tapiii





begitu melihatnya,, aku dan Nia segera angkat kaki kembali :)

Yang Terlewatkan

Nia yang mengambil alih kemudi, segera melaju dengan cepat kembali ke Rante Pao, tidak menggubris permintaanku ke Desa Kambira, desa yang mengubur bayinya di Pohon,, hmm.. kembali kecewa setelah melewatkan Batu Tumonga,, berasa sedikit ada yang kurang, tapi mungkin biar ada alasan aku kembali :)

sekedar info,, kalau ke Toraja baiknya tidak melewatkan tempat ini yaa..

 kubur bayi

info kuburan bayi :

Di kuburan ini, bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh dikuburkan di dalam sebuah lubang yang dibuat di pohon Tarra’. Bayi ini dianggap masih suci. Pohon Tarra’ dipilih sebagai tempat penguburan bayi, karena pohon ini memiliki banyak getah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Dengan menguburkan di pohon ini, orang-orang Toraja menganggap bayi ini seperti dikembalikan ke rahim ibunya dan mereka berharap pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang akan lahir kemudian.

Pohon Tarra’ memiliki diameter sekitar 80 – 100 cm dan lubang yang dipakai untuk menguburkan bayi ditutup dengan ijuk dari pohon enau. Pemakaman seperti ini dilakukan oleh orang Toraja pengikut ajaran kepercayaan kepada leluhur. Upacara penguburan ini dilaksanakan secara sederhana dan bayi yang dikuburkan tidak dibungkus dengan kain, sehingga bayi seperti masih berada di rahim ibunya.
Kuburan ini terletak di Desa Kambira, tidak jauh dari Makale, Tana Toraja.

menjelang malam,, saatnya kembali ke Makassar. bus Litha pun sudah menunggu kami.

06 Oktober 2012
sampai Pool dini hari, mengumpulkan kesadaran penuh dan menanti mentari bersinar. pagi ini aku putuskan menujut Tanjung Bira, sebuah pelabuan, yang juga terdapat pantai yang cukup dikenal di kalangan Traveler,

dari depan Pool naik Pete - Pete (angkot) menuju jl. Veteran, lalu disambung pete - pete yang menuju terminal Mellengkeri untuk naik Kijang yang Tanju Bira untuk ke terminal Bulukumba,, (yang kemudian baru aku ketahui kalau ada Kijang yang langsung ke Bira, asal pas waktunya)

Tanjung Bira ini letaknya di Ujung Selatan Sulawesi,, jadiiii dari Makassar itu lamanyoo.. Lebih dari 6 jam waktu yang kami tempuh untuk tiba di sana,, selain memang jarak yang jauh, yang bikin lama karena angkutan di sini full service,, penumpang benar - benar diantar hingga gerbang rumah, membuat kami yang paling jauh hanya bsia terbengong-bengong dan bergumam sendiri.. @.@ , dan harus tahan juga kalau angkotnya dijejali barang segala macam hehe

bentuk rumah di pesisir bira

Pak Askiar, Supir Angkot itu pun dengan baiknya mengantar kami mencari penginapan, yang murah meriah,, setelah sempat kecele dengan Bu Kades yang menawari penginapan murah (namun ternyata bukan punya dia dan kami "diusir" :)) ) akhirnya kami pun bermalam di Kalubimbi Cottage, yang memberi harga muarah karena Pak Askiar mengakui kami sebagai ponakannya.. hihihi

Setelah beres - beres dan cukup beristirahat, saatnya memanjakan kaki di pasir putiiih

Di Pantai terdapat kapal - kapal kecil yang akan mengantar kita snorkeling di tengah dan ke penangakran penyu, bintang laut dkk. namun sore itu kami habiskan berguling - guling saja di pasirnya, sembari memandang hotel Pinisi, yang konon permalamnya lebih dari 1 juta.. weew







pagi harinya, dengan dipinjami motor dan diantar pemilik penginapan, kami melihat Pinisi yang sedang dibuat, dan ini termasuk salah satu Pinisi terbesar yang pernah dibuat. 



  


"Pinisi yang mengharumkan pelaut Indonesia, tapi juga turut andil mengurangi hutan" kata pengrajinnya

Puas bernarsis ria, kami kembali ke pantai tempat sandar perahu,, dan nasib baik masih bersama kami. Perahu yang biasanya 350rb sekali pakai, belum termasuk peralatan senorkeling, kami dapatkan hanya 170rb + 10rb uang masuk penangkaran, sudah dapat semua layanan.. huaah.. hanya berdua (berempat ding sama pemilik kapal dan ponakannya) berasa ajiiip





penangkaran penyu


dibawah lautnya 


selesai sudah perjalananku disini, dengan terburu - buru karena sudah ditunggu Kijang yang cukup lama menanti kami,.. dan satu kejutan kami, Supirnya mengantar kami ke desa pembuatan Pinisi, ternyata Bapak - Bapak di warung yang kami kenal semalam menyampaikan keinginan kami.. ;terharu


dan tahukan berapa isi kijang dimuat??  didepan saja kami ada empat orang, dan katanya kalau hari natal atau tahun baru, bsia sampai lima orang :amazing  hahaha

 ----
kembali ke UNHAS, pamitan dengan MAPALA09, ditutup dengan kacamata pecah, meraba malam dalam gelap. hohoho.. Alhamdulillah


 yuks aah keliling Makassar dengan Bentor :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar