Dalam sebuah ruang putih yang nyaman dan tenang
Di atas sofa putih yang lembut
Berselimut aroma kopi dan teh yang bersatu
Duduk kita berdua
Membahas tentang buku dan alam
Dari puisi hingga tari
Tak kusangka, kau pecinta seni
Walau wajahmu datar tanpa ekspresi, ketika kau bacakan puisi-puisi karya Gie
Wajahmu tetap membuatku terpesona
Kau ajarkan aku mengerti (sedikit)tentang politik, sejarah dan cinta negeri lewat buku
Rasa-rasanya aku tak keberatan kalau kau anggap aku bodoh,
Selama kau ada di sini bersamaku
Mengajarkan dan bercerita banyak hal
Tentang gunung, hutan hingga wayang
Aroma roti bakar menusuk hidung
Membuat kita beralih cerita
Tentang bakpau, brownis dan sesuatu yang manis
Aah,, rasa-rasanya aku tak keberatan selalu membuatkan sesuatu untukmu
Walau harus terkurung dalam kotak kecil yang panas dengan panci dan oven,
Walaupun harus gesit naik turun dari dingklik,
Karena tingginya dapur yang kau bangun untukku.
Kreeek, pintu pun terbuka.
Dan dia berdiri di sana menatapku
Mengajakku berbicara tentang rumah dan kota
Mengalihkan pandanganku darimu.
Dan kau pun pergi meninggalkanku.
Semua pudar hingga bunga-bunga berwarna biru mewarnai putihnya salju.
Ternyata aku masih di sini,
Di atas ranjangku yang mungil.
Dengan mendekap bukumu erat dan menggengam handphon berisi pesannya.
Berasa enggan beranjak karena sedih menghujam
namun kembali sadar dan bergegas menuju tribun penonton
Tanpa komentar,
Tanpa kritik,
Tanpa pesan.
Dengan tetap memajang senyum 2 jari
Menanti sang juara
Biarlah kau menjadi actor utama di atas arenamu,
Dan aku akan berada di atas arenaku sendiri
----
penantian dari waktu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar